Tuesday, 20 September 2016

Lima kota di Indonesia 'terburuk' soal kenyamanan berkendara



Lima kota di Indonesia berada di papan bawah indeks kepuasaan berkendara yang disusun aplikasi navigasi berbasis GPS, Waze.
Kelima kota yang ada di urutan bawah Driver Satisfaction Index adalah Bogor, Denpasar, Bandung, Surabaya, dan Jakarta.
Bogor adalah kota terburuk kedua berdasarkan survei dengan nilai indeks 2,15 dari 10. Denpasar menempati posisi empat dari bawah dengan nilai indeks 2,89.
Dengan nilai indeks 3, kota Bandung berada di lima terbawah, kemudian Surabaya menempati posisi tepat di atas Bandung dengan nilai indeks 3,14.
Dinilai sedikit lebih baik dari Surabaya, Jakarta menempati posisi ke-9 terburuk dengan nilai indeks 3,37.

Pengamat transportasi, Danang Parikesit dari Masyarakat Transportasi Indonesia mengatakan saat ini yang menjadi masalah di Jakarta bukan lagi di pusat kota, melainkan di kawasan pinggiran kota.

Hasil survei Waze ini lagi-lagi memantapkan Indonesia dengan jalanan terburuk di dunia, namun Danang berkata reaksi pemerintah harus diwaspadai.
“Jangan sampai reaksi pemerintah menambah panjang jalan, melebarkan jalan. Itu menurut saya bukan solusi jangka panjang," kata Danang.
Kota yang dinilai paling baik di antara kota-kota lain di Indonesia adalah Semarang dan Malang. Kedua negara berurutan menempati ranking 145 dan 146.
Semarang mendapat nilai indeks 4,58 dengan skor keamanan jalan 9,15 dari 10. Malang mendapat nilai indeks 4,56, dengan keamanan dan kualitas jalanan dinilai sangat baik dan mendapat skor 8,60 dan 9,60.
“Semarang dan Malang itu kota-kota peninggalan Belanda yang memang jaringan jalannya sangat longgar. Jalan-jalan yang ada di sana itu sangat besar dan itu tingkat kepemilikan kendaraan juga relatif rendah dibandingkan dengan kota-kota lain,” kata Danang.

Konsisten dengan survei pemerintah

Danang menambahkan, “Hasil Waze itu sebenarnya sangat konsisten dengan hasil survei Kementerian Perhubungan yang menyatakan bahwa Semarang performance kecepatan kendaraannya itu 29km/jam pada puncak pagi hari dan itu jauh lebih tinggi daripada kota-kota lain seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya.”
Danang memperingatkan persoalannya bukan sekedar jaringan jalan, namun bagaimana pemerintah daerah bisa mendorong orang berpindah ke kendaraan pribadi ke kendaraan umum.
Kedua kota mendapat skor yang cukup rendah untuk layanan pendukung dan sosio ekonomi.
Menurut Danang, tarif parkir dan ketersediaan parkir, baik on street dan off street tidak ada dalam rencana strategis pengembangan transportasi. Dia berkata ada ketimpangan kebijakan antara Kementerian Perhubungan dan dinas terkait.
“Seharusnya pemerintah meresponsnya dgn penyedian public parking, yang di luar negeri sudah biasa, di Indonesia belum ada konsep seperti itu. Misalnya gedung parkir milik pemerintah daerah. Padahal dari sisi revenue saja, yang sering kali jadi ukuran Pemda, public parking merupakan satu potensi yang bagus sekali untuk menjadi revenue,” papar Danang.
“Di Jakarta misalnya, tempat Park and Ride. Yang paling laku di mana? Bukan yang disediakan oleh pemerintah tapi seperti di Al Azhar misalnya, di masjid. Itu adalah Park and Ride dengan Transjakarta. Artinya kan masyarakat berinisiatif sendiri padahal seharusnya ini menjadi domain-nya pemerintah untuk bisa melakukan perbaikan.”
Kota lain yang diukur di survei ini adalah Yogyakarta dan Medan. Yogyakarta berada di posisi 150 dan Medan mendapat ranking 168.

Sumber http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/09/160920_indonesia_macet_waze



Share:

0 comments :

Blog Artikel