Thursday 29 September 2016

Gerwani, Srikandi yang Ditumpas Orde Baru

Gerwani, Srikandi yang Ditumpas Orde Baru
Sri Sulistyowati mencium ketidakberesan ketika pesawat Garuda yang ia tumpangi tak bisa mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta, 2 Oktober 1965. Pesawat yang bertolak dari Langsa, Aceh, itu diminta untuk berbelok ke arah Palembang, Sumatera Selatan.

“Dari Palembang diperintahkan mendarat ke Bandara Halim Perdanakusuma. Pemberitahuannya karena berlaku jam malam,” kata Sri kepada CNNIndonesia.com, Kamis (1/9).

Sri yang ketika itu menjadi wartawan koran ekonomi Warta Bhakti baru saja melakukan liputan panjang sejak 11 September hingga 1 Oktober 1965. Sri meliput safari Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang dipimpin Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.

Kekhawatiran Sri kian menjadi saat seorang petugas memberikan peringatan. “Jangan pulang ke rumah, sudah diduduki.”

Sri resah bukan main. “Salahku apa? Bagaimana nasib anakku?”

Tanpa berbekal informasi yang jelas, Sri menuju rumahnya di Bungur Besar, Jakarta Pusat.

“Situasi Jakarta sunyi dan mencekam,” kata dia.

Saat berjalan menuju lokasi rumahnya, seorang tetangga mencegat, memberitahukan Sri dicari-cari dan rumahnya telah disegel pasukan militer.

“Untung saja anak saya telah diselamatkan tetangga,” ujar Sri.

Sri lalu berjalan kaki menuju rumah mertuanya di Sunda Kelapa, Jakarta Utara, menembus malam yang sunyi dan dingin. Dia memilih menelusuri gang-gang sempit untuk menghindari patroli malam.

Belakangan, Sri mengetahui dia dikaitkan dengan peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat yang dilakukan kelompok bernama Gerakan 30 September.

Sri menduga dia menjadi sasaran karena kedekatannya dengan Sukarno, serta aktivitasnya membantu mendirikan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) di Jakarta.Ketika itu pemberitaan berbagai media, terutama Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata milik militer, menyebutkan Gerwani ikut andil di balik kematian para perwira AD. Gerwani disebut-sebut mencungkil mata dan menyileti para korban.

Sri pun memutuskan kabur dan menitipkan anak kepada mertua.

Ia memilih tetap di Jakarta dan menyambung hidup dengan berdagang cabai, bawang, dan tomat di Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Namun penyamarannya terbongkar pada 1968. Dia ditangkap pasukan Batalion Lintas Udara 18 di Blitar, Jawa Timur, 18 Juli 1968.

Sejak itu Sri melewati masa panjang menjadi tahanan tanpa diadili. Berbagai siksaan dia alami selama dipenjara.

Penyiksaan pertama ia terima dari dua tentara yang menindih tubuhnya dengan bangku kayu dari bahan jati.

“Saya pendarahan dari hidung, mulut, sampai satu bulan,” kata Sri.

Selama penyiksaan yang terus berulang, Sri selalu berdoa agar tak mengalami pemerkosaan seperti temannya, perempuan tahanan politik yang diperkosa tujuh petugas.


Sumber http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160928132758-20-161826/gerwani-srikandi-yang-ditumpas-orde-baru/
Share:

0 comments :

Blog Artikel