Monday, 19 September 2016

Ekspor Timah RI Turun 10 Ribu Ton Tergerus Produk Myanmar

Ekspor Timah RI Turun 10 Ribu Ton Tergerus Produk Myanmar
Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Bachrul Chairi menyatakan, harga komoditas timah yang dikeluarkan Indonesia mulai menjadi referensi harga timah dunia, Denpasar, Senin (19/9). (CNN Indonesia/Dinda Audriene Muthmainah).  

Denpasar, CNN Indonesia -- Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat ekspor timah nasional turun hingga 10 ribu ton dari sebanyak 39 ribu metric ton pada semester I 2015 menjadi cuma 29 ribu metric ton pada periode yang sama tahun ini.

Kepala Bappebti Bachrul Chairi mengungkapkan, penurunan ekspor lantaran kehadiran pemain baru, yaitu Myanmar, sejak dua tahun lalu. Kehadiran sumber baru tersebut, berdampak pada jumlah ekspor timah Indonesia.

"2016 ini faktor Myanmar masih ada ini, karena mereka baru masuk. Ini salah satu faktornya, yaitu sumber baru," ujar Bachrul di Bali.


Namun demikian, Bachrul memastikan Indonesia masih menjadi negara ekspor timah terbesar untuk saat ini. Hal ini tak terlepas dari potensi produksi timah yang masih sangat tinggi, sehingga membuat Indonesia menjadi negara kedua produsen timah di dunia.

Sebagai informasi, sekitar 80 persen kebutuhan dunia terhadap timah merupakan timah dari Indonesia. "Karena pasokan 70-80 persen timah dunia itu ya Indonesia. Mereka cari pemasok dong langsung, yaitu kita, Indonesia," terang dia.

Tetapi, Bachrul mengingatkan, pasokan timah di Indonesia kemungkinan besar akan habis pada 10 hingga 15 tahun mendatang. Itu berarti, pemerintah hanya memiliki waktu paling lama tahun 2031 dalam mengembangkan komoditas timah ini.

Hingga saat ini, kawasan pertambangan masih berada di Bangka Belitung. Pemerintah Daerah (Pemda) dianjurkan untuk mulai berpikir mengenai penanggulangan reklamasi bekas lahan tambang tersebut.

"Setelah itu, makanya harus disiapkan apakah hasil tambang akan diinggalkan gitu saja atau dikembangkan menjadi pariwisata atau manufaktur. Jadi, 15 tahun ini lah waktu buat pemda berpikir untuk daerah itu apa," imbuh Bachrul.

Ia tak menampik jika dalam 15 tahun ke depan, Indonesia akan mulai melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan timah di dalam negeri. Namun, asal tahu saja, kebutuhan dalam negeri sendiri menurutnya masih terbilang sedikit, yakni hanya lima persen dari total produksi.

Secara terpisah, ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menambahkan, pemerintah harus memanfaatkan jumlah timah yang ada saat ini dengan sebaik-baiknya. Ia mengingatkan, jangan sampai menyalahi peraturan pemerintah dalam mengekspor bahan baku dari komoditas tersebut.

"Oleh karena itu, menurut saya, kita manfaatkan sebaik baiknya. Jangan sampai timah itu tin ore (pasir timah) yang diekspor. Jadi, 15 tahun ke depan itu higher value added," katanya.

Dengan begitu, Indonesia akan memiliki peninggalan yang berarti dan nantinya dapat diolah, sehingga nilai jualnya dapat lebih tinggi. Terlebih lagi jika pabrik pengolah timah berkembang di Indonesia, maka hal tersebut turut membantu produksi bahan baku dari timah itu sendiri.

Saat ini, ekspor timah sendiri sudah dalam bentuk ingot timah. Ia sendiri berharap agar Indonesia tak lagi mengekspor bahan baku kemudian mengimpor barang jadi yang bahan bakunya berasal dari timah.

"Kan diimpor dari luar negeri. Timahnya dijual kemudian diolah sama Jepang dan Korea, terus diimpor ke Indonesia. Jadi missing middle," terang Faisal.

Sekadar informasi, penjualan timah ke luar negeri atau ekspor timah saat ini dilakukan lewat bursa berjangka di Indonesia yang dikelola oleh Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) sejak 2013.


Sumber http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160919161036-85-159429/ekspor-timah-ri-turun-10-ribu-ton-tergerus-produk-myanmar/
Share:

0 comments :

Blog Artikel