YOGYAKARTA - Sri Sultan HB X kerap melakukan langkah kontroversial yang mengundang perhatian masyarakat luas, baik di tingkat lokal maupun nasional. Namun, langkah yang diambil tersebut justru pada akhirnya berujung positif.
Sejumlah langkah yang dinilai kontroversial itu juga diakui sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Sri Margana, saat ditemui Senin 11 Mei 2015 malam. Awalnya apa yang dilakukan Sultan mendapat respons pro dan kontra, namun kemudian justru pada akhirnya positif.
Dikemukakan Sri Margana, jika dikaitkan sebagai upaya antisipasi perubahan zaman yang semakin modern dan global, sabda raja yang dikeluarkan Sultan HB X meskipun terkesan kontroversial ternyata berdampak positif. Sabda raja tersebut menempatkan Kerajaan Kasultanan Yogyakarta untuk bisa menyesuaikan dengan perubahan nilai, norma, dan orientasi politik maupun demokrasi masa kini, termasuk memberikan ruang bagi emansipasi perempuan.
"Kalau untuk antisipasi perubahan zaman, sabda raja sangat positif," katanya.
Salah satu poin yang diubah Sultan melalui sabda raja adalah menghapus perjanjian antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan. Menurut Margana, penghapusan perjanjian tersebut sangat tepat karena sudah tidak relevan lagi dibicarakan saat ini.
Penghapusan perjanjian tersebut justru akan dapat menyatukan antara dinasti keturunan Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan untuk menyongsong perubahan baru. Maka itu, perubahan gelar yang disandang Sultan dari Buwono (jagad alit) menjadi Bawono (jagad besar) cukup relevan.
Kemudian penghapusan gelar khalifatullah, menurut Margana, juga untuk menjawab tantangan zaman yang lebih demokratis (tanpa diskriminasi) dan membuka ruang bagi perempuan untuk menjadi pemimpin. Penghapusan gelar khalifatullah ini bisa diinterpretasikan bahwa jika seandainya muncul raja dari kalangan perempuan, maka raja tersebut tidak terbebani dengan gelar itu.
"Sebagai bagian dari Republik Indonesia, kita harus memberi ruang dan kesempatan perempuan menjadi pemimpin," katanya.
Keputusan kontroversial lain Sultan HB X yang berdampak positif bagi masyarakat adalah ketika Sultan menolak dicalonkan lagi menjadi Gubernur DIY pada 2007 sebagai dampak tidak kunjung selesainya pembahasan RUUK di DPR RI. Menurut Margana, sikap kontroversial Sultan ketika itu lebih pada sikap gemas Sultan terhadap pemerintah dan DPR RI yang tidak kunjung memberikan keistimewaan kepada Yogyakarta, padahal aspirasi masyarakat telah bulat mendukung keistimewaan.
Kemudian sikap Sultan HB X yang ikut mendorong gerakan reformasi melengserkan Soeharto melalui Pisowanan Ageng di Alun-alun Utara pada 1998, menurut Margana, hal itu dilakukan karena zaman telah berubah yakni menginginkan kepemimpinan yang demokratis bukan otoriter.
Menyikapi sabda raja, Margana mengimbau kepada masyarakat termasuk ormas untuk tidak melibatkan diri dalam konflik internal keraton. Selain itu, pihak keluarga keraton juga diharapkan mampu menjaga konflik ini agar tetap berada di internal keraton, tanpa mencari dukungan dengan melibatkan masyarakat luas. Jangan sampai masyarakat terbelah karena konflik ini.
"Jika menyangkut keistimewaan Yogyakarta, memang masyarakat harus mendukung karena secara historis Sultan sangat berjasa bagi republik ini. Namun dalam konflik perebutan kekuasaan di internal keraton, sebaiknya jangan," katanya.